Jika Sakit, Kemudian Bagaimana?

Setiap orang memiliki risiko jatuh sakit dan memerlukan ongkos cukup besar dikala berobat ke tempat tinggal sakit. Apalagi, kalau sakit yang dideritanya merupakan penyakit yang kronis atau mencakup berat. Untuk menampilkan dispensasi biaya, pemerintah mengeluarkan Program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional). Program pelayanan kesehatan yang merata dan tidak diskriminatif, dikelola dalam Undang-undang Nomor 40 tahun 2004 wacana Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), kemudian diimplementasikan ke dalam Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2011 wacana Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS).

Kedua hukum itu, dimaksudkan untuk menjamin pemerataan dan keadilan serta kemandirian masyarakat. Pada bidang kesehatan akan dikelola dan dilaksanakan BPJS Kesehatan, yang merupakan transformasi PT Askes (Persero) dan bidang jaminan hari tua, dilaksanakan BPJS Ketenagakerjaan, yang merupakan transformasi PT Jamsostek (persero).

Dalam kwartal pertama pelaksanaan JKN yang dioperatori BPJS Kesehatan, memang sudah berjalan relatif baik. Namun upaya reformasi kesibukan jaminan sosial untuk menampilkan derma sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, masih dihadapkan dengan aneka macam permasalahan di lapangan.

Sebagai sebuah metode yang besar dan gres berjalan dalam tempo yang masih relatif singkat, implementasi BPJS utamanya BPJS Kesehatan masih jauh dari sempurna. Dalam monitoring dan penilaian yang sudah lakukan oleh aneka macam pihak, khususnya DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional) yang sudah diberikan mandat oleh konstitusi untuk mengerjakan monitoring dan evaluasi, banyak permasalahan di lapangan.

Permasalahan ini mesti dimengerti selaku koreksi konkret bagi BPJS. Sedangkan, DJSN dan Pemerintah utamanya dari faktor regulasi dan teknis operasional yang mesti dibenahi dan disempurnakan. Karena kalau tidak, SJSN ini akan rapuh. Penerapan pelayanan berjenjang, metode kapitasi, dan standardisasi penggunaan obat mutlak dikerjakan mudah-mudahan metode asuransi kesehatan sosial berjalan baik.

Sejak dioperasionalkan 1 Januari 2014, BPJS Kesehatan memiliki beraneka ragam permasalahan, banyak faktor yang belum matang dan menjadi persoalan. Kurangnya sosialisasi dan pergantian struktur di dalam BPJS dinilai menjadi penyebab hadirnya permasalahan tersebut. Padahal, BPJS Kesehatan sungguh diperlukan dan mesti tetap dilaksanakan.

Masalah itu, justru timbul pada elemen pengaplikasiannya, seumpama di rumah sakit tersier, khususnya pada faktor rujukan, biaya, dan kepersertaan BPJS. Banyak penduduk yang belum tahu teknis mendapat pelayanan sesuai dengan hukum main BPJS Kesehatan. Dengan diberlakukannya BPJS Kesehatan, penduduk yang hendak berobat ke tempat tinggal sakit biasa pemerintah dengan kartu BPJS mesti mendapat referensi dari dokter, klinik/puskesmas, atau rumah sakit biasa daerah

Kebanyakan penduduk belum tahu perihal metode rujukan. Inilah yang menjadi persoalan, dikala sudah tiba ke tempat tinggal sakit tersier pasien akan dilayani kalau sudah mendapat referensi dari peyanan kesehatan primer. Sistem referensi sudah dikelola dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 001/2012 Tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan (PMK).

Sistem referensi merupakan sebuah metode penyelenggaraan kesehatan yang mengerjakan pelimpahan tanggung jawab yang timbal balik terhadap satu kasus penyakit atau kasus kesehatan secara vertikal dalam arti dari unit yang berkemampuan kurang terhadap unit yang lebih bisa atau secara horizontal dalam arti unit-unit yang setingkat kemampuannya. Sistem referensi menertibkan alur dari mana dan mesti ke mana seseorang yang memiliki kasus kesehatan tertentu untuk memeriksakan kasus kesehatannya.

Sistem ini diinginkan semua mendapatkan keuntungan. Misalnya, pemerintah selaku penentu kebijakan kesehatan (policy maker), faedah yang hendak diperoleh di antaranya, menolong pengurangan dana dan memperjelas metode pelayanan kesehatan. Bagi penduduk selaku pemakai jasa pelayanan akan mengendorkan ongkos pengobatan alasannya merupakan pelayanan yang diperoleh sungguh mudah. Bagi pelayanan kesehatan (health provider), mendorong jenjang karier tenaga kesehatan, selain mengembangkan wawasan maupun keterampilan, serta mengendorkan beban tugas.

Sistem referensi pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang sesuai dengan keperluan medis. Pada pelayanan kesehatan tingkat pertama, penerima sanggup berobat ke akomodasi kesehatan primer seumpama puskesmas, klinik, atau dokter keluarga yang tercantum pada kartu penerima BPJS Kesehatan. Apabila penerima memerlukan pelayanan lanjutan oleh dokter spesialis, maka penerima sanggup dirujuk ke akomodasi kesehatan tingkat kedua atau akomodasi kesehatan sekunder. Pelayanan kesehatan di tingkat ini cuma bisa diberikan kalau penerima mendapat referensi dari akomodasi primer. Rujukan ini cuma diberikan kalau pasien memerlukan pelayanan kesehatan spesialistik dan akomodasi kesehatan primer yang ditunjuk untuk melayani peserta, tidak sanggup menampilkan pelayanan kesehatan sesuai dengan keperluan penerima alasannya merupakan kekurangan fasilitas, pelayanan, dan atau ketenagaan. Jika penyakit penerima masih belum sanggup tertanggulangi di akomodasi kesehatan sekunder, maka penerima sanggup dirujuk ke akomodasi kesehatan tersier. Di sini, penerima akan mendapat penanganan dari dokter sub-spesialis yang menggunakan wawasan dan teknologi kesehatan sub-spesialiastik.

Peserta JKN mesti mengikuti metode referensi yang ada. Sakit apa pun, kecuali dalam kondisi darurat, mesti berobat ke akomodasi kesehatan primer, dihentikan eksklusif ke tempat tinggal sakit atau dokter spesialis. Jika ini dilanggar penerima mesti bayar sendiri.

Namun realitas di lapangan tak semudah membalikkan telapak tangan. Perpindahan jaminan kesehatan ini banyak mengalami kendala. Sistem referensi pasien dinikmati masih tidak efektif dan efisien, masih banyak penduduk belum mendapat mencapai pelayanan kesehatan, risikonya terjadi penumpukan pasien yang hebat di rumah sakit besar tertentu. Pemahaman penduduk wacana alur referensi sungguh minim sehingga mereka tidak mendapat pelayanan sebagaimana mestinya. Pasien menilai metode referensi birokrasinya cukup rumit, sehingga pasien eksklusif merujuk dirinya sendiri untuk mendapat kesehatan tingkat kedua atau ketiga.

Keluhan lain terkait sIstem referensi BPJS yang dinikmati merupakan ketidaksiapan tenaga kesehatan dan kurangnya akomodasi di layanan kesehatan primer, kasus yang sebaiknya sanggup dikerjakan di layanan primer/sekunder tetapi eksklusif dirujuk ke tempat tinggal sakit tersier. Lain halnya dengan ganjalan PNS di mana kalau referensi mesti lewat puskesmas sementara mereka mesti melakukan pekerjaan lamanya proses pengurusan tersebut menghabiskan jam kerja para PNS. Sistem referensi sebaiknya tidak menghasilkan PNS kesulitan. Idealnya referensi tidak cuma berasal dari Puskesmas, tetapi juga layanan primer lain, misalnya klinik tempat pekerja tersebut. Kasus lain yang menuai protes kesibukan JKN merupakan mutasi penerima Jamsostek ke BPJS, seorang manula gagal mendapat pelayanan perawatan kesehatannya alasannya merupakan salah satu rumah sakit swasta yang sebelumnya merupakan referensi Jamsostek menolaknya.

Seharusnya ada masa transisi yang memberi peluang penerapan metode tidak secara kaku. Masyarakat yang tinggal di kepulauan juga menjadi korban kurangnya sosialisasi perihal metode referensi pada BPJS. Perjalanan jauh yang sudah ditempuh dengan menyeberangi pulau dan ongkos tak sedikit menjadi tidak bermanfaat alasannya merupakan rumah sakit terpaksa menolak pasien. Pelayanan referensi juga menjadi sesuatu yang rumit di tempat seumpama Papua. Banyak tempat yang tidak dapat dijangkau oleh kendaraan darat, sehingga diperlukan heli-ambulans untuk memuat pasien gawat atau pasien rujukan. Namun akomodasi ini tidak tersedia di BPJS. Tidak jarang juga penolakan oleh rumah sakit dikerjakan alasannya merupakan ruangan betul-betul penuh. Ini tentunya memicu kualitas pelayanan rumah sakit jadi menurun. Seharusnya pasien tersebut sanggup dirujuk ke tempat tinggal sakit lain yang setingkat. Namun ada banyak rumah sakit yang menolak (swasta) atau belum siap (swasta dan pemerintah) untuk relevan dengan BPJS.

Untuk menjamin berjalannya metode referensi berjenjang BPJS maka perlu dikerjakan tindakan yakni sosialisasi yang terus-menerus guna menamankan kesadaran penduduk wacana metode referensi berjenjang, penduduk menilai metode referensi terkesan berbelit-belit ini dipicu oleh keengganan penduduk untuk antre di layanan primer seumpama Puskesmad. Pembenahan fasilitas dan prasarana yang mencukupi di setiap tingkat pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan. Kompetensi petugas kesehatan perlu disiapkan dan ditingkatkan sehingga bisa menanggulangi kasus sesuai tingkat layanannya. Kebijakan metode referensi yang ditetapkan mesti lebih komprehensif meliputi jejaring yang melibatkan swasta, dan membuka seluas-luasnya peluang bagi klinik yang mau bergabung dengan BPJS sehingga tidak terjadi antrean di Puskesmas.

Peran perawat dalam metode referensi berjenjang merupakan mengetahui secara terang perihal metode referensi alasannya merupakan perawat merupakan petugas garda depan yang senantiasa menjadi tempat mengajukan pertanyaan pasien atau penduduk yang memerlukan dan perawat mesti senantiasa mengembangkan kompetensi mudah-mudahan sanggup menampilkan pelayanan kesehatan secara professional yang diperlukan pasien.

Monitoring dan penilaian pelaksanaan metode referensi perlu dikerjakan secara terus-menerus oleh pemerintah mudah-mudahan menjamin setiap penduduk mendapat layanan kesehatan yang tepat dengan haknya.



Infografis: Selasar
Referensi: Kompasiana

Comments

Popular posts from this blog

Ini Makanan Dan Minuman Yang Bisa Memperpendek Usia

Bahaya Kelamaan Tidur

Orang Renta Bertanggung Jawab Bangkit Abjad Emosional Anak